Stabat Teropong Barat | Membicarakan NU tidak ada habisnya. Ia bisa didekati melalui berbagai tema dan perspektif. Mulai sejarah kehadirannya hingga pertarungan ideologi kontemporer. Hal ini terjadi karena perjalanannya yang acapkali zig zag.
Pada suatu saat, ia begitu intens dalam dunia politik dan pada saat yang lain, ia sangat serius dengan pemberdayaan masyarakat pinggiran dan tertinggal. Pada jaman ORLA, NU secara organisatoris menjadi sebuah partai politik. Era ORBA, terutama pasca 1984, NU mengambil posisi gerakan high politics dengan konsentrasi pada empowering civil society dan di era reformasi, para punggawa NU beramai- ramai terjun dalam dunia politik praktis walau secara organisatoris ia tetap independen.
Di pihak lain, posisi NU, walau ia hanya diam, akan ditarik oleh berbagai kepentingan di luar dirinya. Alasanya adalah karena di samping jumlah anggotanya yang besar, juga karena komposisi anggotanya yang unik. Keunikan anggota NU bisa dilihat dari aspek sosiologis berikut.
Secara sosiologis, NU didirikan oleh elit keagamaan pedesaan yang terkumpul dalam komunitas lembaga pesantren. K.H. Hasyim Asy’ari adalah pemimpin pesantren pedesaan di Tebuireng. K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syamsuri pun demikian. Mereka berdua adalah pemimpin pesantren di Denanyar dan Tambak Beras Jombang. Tidak lupa peran K.H. Cholil dalam memberi restu atas inisiatif pendirian NU. Ia adalah pemimpin pesantren pedesaan di daerah Bangkalan Madura.
Sebagai elit keagamaan, peran sosial mereka sangat mengakar kuat. Tidak hanya masalah ekonomi mereka yang lebih mapan, tetapi mereka menjadi tempat rujukan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat seperti persoalan pernikahan, bercocok tanam hingga pengobatan.
Peran seperti ini menjadikan mereka sebagai unsur pemersatu masyarakat sekaligus tempat penyaringan berbagai informasi dan pengetahuan luar yang masuk dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada mereka sangat tinggi. Banyak para sosiolog menggambarkan hubungan masyarakat dengan mereka adalah hubungan patron clien, yaitu suatu hubungan kepatuhan dan tidak terlalu bersikap kritis atas tindakan mereka.
Karakter sosiologis pendiri ini dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Para pemimpin organisasi ini mulai tingkat pusat hingga ranting banyak dipegang oleh orang yang bergelar Kiai atau pemimpin pesantren. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa organisasi ini ”wajib” dipimpin oleh pemimpin pesantren atau minimal yang memiliki kekerabatan dengan pesantren.
Logo NU.
Akibatnya seringkali dijumpai dua hal fakta. Pertama, sering ditemukan seseorang karena ingin mencari legalitas tidak tertulis tersebut mendirikan pesantren walaupun secara keilmuan ia tidak memiliki kualifikasi memadai untuk menjadi kiai. Kedua, mutasi organisasi. Orang- orang tertentu yang memiliki managerial dan kemampuan keagamaan baik, tetapi tidak memiliki kekerabatan kiai direkrut oleh organisasi lain, atau dengan keinginan sendiri untuk pindah organisasi. Keanggotan yang unik tersebut memunculkan berbagai asumsi berikut.
Pertama, menguasai kiai berarti menguasai orang-orang NU. Para kiai, melalui pesantren, memproduksi anggota NU kultural secara generatif. Ikatan antara kiai dan santri anggota NU ini tidak saja bersifat organisatoris kelembagaan pesantren tetapi lebih kuat sebagai ikatan ideologi keagamaan.
Seorang santri bisa saja sendiko dawuh atas apapun yang diucapkan oleh kiai. Asumsi pertama ini benar dengan bukti banyaknya partai politik atau organisasi sosial yang menjadikan kiai sebagai sosok figur untuk mendulang suara tutupnya
(Red)