Himpunan Masyarakat Pakpak Aceh : Para Demonstran Jangan Pakai Politik SARA di Kota Subulussalam
Subulussalam, teropongbarat.co. Jauh dilubuk hatimu, jauh sebelum kita merdeka para leluhur Aceh dan Pakpak memiliki hubungan historis yang harmonis. Hubungan dagang, hubungan kekerabatan untuk saling-membantu saat berjuang dan melakukan perdagangan barter(tukar manukar barang) . Pakta sejarah yang membuktikan di kota Subulussalam ada Raja Mekar Angkat, raja Bancin penanggalan, kerajaan Sambo di kecamatan Sultan Daulat dan secara mengejutkan baru baru ini telah ditemukanya diperbukitan seratusan Makam Komunitas Aceh ditanah Ulayat Marga Solin tepatnya nama kampongnya Lae Meang Kecamatan Tinada kabupaten Pakpak Bharat tertulis di Nisan makam itu ratusan tahun sudah dari keturunan Aceh,
Fakta fakta sejarah ini, menbuktikan komunitas Pakpak di wilayah administrasi Aceh merupakan komunitas yang tak asing secara turun temurun, hidup dan tinggal diwilayah administratif Subulussalam-Aceh atau disebut Pakpak Suak Boang. Demikian uraian singkat disampaikan LSM Suara Putra Aceh Kota Subulussalam.
Sampai kapan kita mendustakan hubungan baik para leluhur kita yang kharismatik itu? Sampai kapan kita membohongi jati diri kita?
Nah kalaulah benar para demonstran dengan semangat kesepakatan perjanjian GAM-RI Helshingki, maka butir yang perlu mendesak diperjuangkan bukan ingin menggagalkan salah satu Calon Walikota Subulussalam secara Rasis SARA dengan dalih UUPA dan Qanun. Tapi berjuang sebagaimana semangat helsyngki untuk menjaga perdamaian dan mengembalikan seluruh wilayah wilayah Aceh sebagaimana tahun 1965 seperti yang tertera di uraian kesepakan GAM-RI Aceh-Sumatera menjadi wilayah strategisnya. Menuntut lahan lahan yang peruntukannya bagi korban tapol dan napol di Aceh untuk kesejahteraan regenerasi Aceh.?
Inilah suku – suku yang mendiami sejumlah daerah di Provinsi Aceh seperti dimuat disitus resmi pemerintah Aceh :
1. Suku Aceh
2. Suku Tamiang
3. Suku Gayo
4. Suku Alas
5. Suku Kluet
6. Suku Julu
7. Suku Pakpak
8. Suku Aneuk Jamee
9. Suku Sigulai
10. Suku Lekon
11. Suku Devayan
12. Suku Haloban
13. Suku Nias
(rri.co.id sumber)
Komunitas masyarakat Pakpak Aceh (Himpak) tersinggung dengan dengan penyebutan SARA yang diduga berafiliansi rasis kesukuan yang dikumandangkan belasan demonstran baru baru ini, hingga menimbulkan kekisruhan dilapangan beringin kota Subulussalam, ini pernyatan resmi Himpak:
“Komunitas Masyarakat pakpak Kota Subulussalam yang terhimpun dalam Wadah HIMPAK ( Himpunan Masyarakat Pakpak) dengan ini menyatakan sikap
Bahwa Kami Himpak Kota Subulussalam menghimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan menjaga perdamain yang sudah kita nikmati bersama.
Bahwa kami meminta kepada semua pihak agar jangan memainkan issue SARA di kota Subulussalam karna Issue SARA bisa membuat perpecahan suku etnik yang sudah lama mendiami kota Subulussalam ini.
Bahwa kami meminta kepada semua pihak agar jangan pernah mendiskreditkan salah satu Suku yang sudah turun-temurun berada di kota Subulussalam ini.
Bahwa Kami Kecewa terhadap Surat Jawaban KIP Aceh 116/pl/02.2-SD/11/2024 yang tidak mencantumkan Suku Pakpak Bagian dari suku etnik yang mendiami Aceh, Sementara kami sebagai Suku Pakpak sudah turun-temurun berada di wilayah ini. Bahwa Kami mendukung penuh kebijakan pemerintah menciptakan pilkada damai di kota Subulussalam.
Demikian Pernyataan sikap ini kami buat untuk dapat di maklumi semua pihak.
HIMPAK KOTA SUBULUSSALAM Ketua DPD Himpak Subulussalam Annes Kabeaken (Tengah) di dampingi Bendahara dan Sekretaris DPW Himpak Aceh.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Himpunan Masyarakat Pakpak (Himpak) Kota Subulussalam dan Provinsi Aceh berharap suasana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Subulussalam berjalan kondusif dan terkendali.
Isu sukuisme yang menjadi bagian dari alasan massa pengunjuk rasa di depan Kantor Bawaslu dan KIP Kota Subulussalam, Jumat (20/9) karena menilai ada kandidat Pasangan Wali dan Wakil Wali Kota Subulussalam ikut berkontestasi pada Pilkada, November mendatang bukan putra Aceh, seperti ‘diatur’ dalam UUPA idealnya tak perlu lagi diperdebatkan.
Pasalnya, badan atau lembaga berwenang di negeri ini sudah menggariskan secara rinci maksud UU itu. Soalan lain, pada Pilkada Subulussalam lima tahun lalu hal ini juga sudah muncul.
Faktanya, sosok yang diklaim bukan putra, Aceh itu ikut berkontestasi hingga dilantik sebagai Wali Kota Subulussalam untuk masa lima tahun, sampai Mei 2024 lalu.
Persoalan kalah atau menang dalam kontestasi Pilkada, bukan harus saling jegal di luar gelanggang, karena jawabannya melalui bilik suara. Lalu pengadilan, panitia atau lembaga khusus sudah ditentukan oleh negara untuk melaksanakan agenda daerah dan nasional itu.
Demikian Ketua DPD Himpak Kota Subulussalam, Anes Kabeaken didampingi Bendahara, Ernawati dan unsur DPW Himpak Aceh, Khairul Boangmanalu di Sekretariat DPD Himpak, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Jumat (20/9), saat dimintai tanggapannya terkait unjuk rasa ricuh di lapangan beringin kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam,
Ditegaskan, semua pihak harus peka dan mampu meminimalisir segala isu atau bentuk gerakan yang bisa mengundang konflik SARA.
“Dengan menggiring politik etnis pada guliran Pilkada Kota Subulussalam dipastikan bisa mengundang polemik, perpecahan karena Subulussalam bahkan Aceh, didiami multi etnik sehingga isu suku, ras tak pantas dipersoalkan,” tegas Anes Kabeaken. Himpak menurut Annes Kabeaken, sangat menghormati semua etnis di Aceh, khususnya di Kota Subulussalam. Persoalan Pilkada disebut sebatas memilih pemimpin dan masanya hanya lima tahun.
Sementara keberadaan etnis harus dirawat semua pihak, karena tertib, aman dan kondusif tak bisa ditawar-tawar dan semua pihak dituntut ikut bertanggungjawab mewujudkannya. Warna warni dan perbedaan memjadikan aset daerah yang tak ternilai harganya. Tutip Pimpinan Himpak Aceh kita Subulussalam tersebut. //Anton tin.**