Opini oleh : Sri Rajasa Chandra, M.BA
Kisruh pembahasan dalam rangka penetapan APBA antara eksekutif dan legislative Aceh, telah menjadi tontonan setiap awal tahun sejak paska damai. Bahkan pernah terjadi APBA baru ditetapkan dipertengahan tahun, sehingga dapat dipastikan implementasi APBA dalam bentuk penyelenggaraan pembangunan, tidak mencapai target demi kesejahteraan rakyat Aceh. Fenomena kisruh penetapan APBA antara eksekutif dan legislative Aceh, telah menjadi modus kejahatan untuk merampok uang rakyat dan menjadi simpul kerawanan yang melanggengkan kemiskinan di Aceh.
Tarik menarik kepentingan antara eksekutif dan legislative Aceh dalam penetapan APBA Ta 2024, dipicu oleh arogansi DPRA untuk memaksakan alokasi dana pokir sebesar 1,2 Triliun. Nampaknya DPRA telah gagal faham dalam memaknai Pokir yang sejatinya sebagai langkah proaktif anggota DPRA terhadap aspirasi rakyat yang selama ini belum tersentuh pembangunan. Ironisnya Pokir telah dijadikan alat mensiasati anggaran, demi mengejar rente para anggota DPRA. Jabatan anggota DPRA dengan predikat terhormat sebagai representasi rakyat, tapi secara sadar dan semata-mata hanya untuk mengejar rente, mereka lebih suka menjadi calo dan makelar proyek.
Akibat waktu pembahasan penetapan APBA 2024 telah jatuh tempo, karena tidak ada titik temu antara eksekutif dan legislative Aceh, akhirnya pada 2 Maret 2024 Pj Gubernur Aceh menerbitkan Pergub Aceh No 11 tahun 2024, mengatur tentang perubahan atas Peraturan Gubernur Aceh Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pengeluaran Daerah Mendahului Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2024. Konsekuensi dari penetapan APBA 2024 melalui Pergub, maka pagu APBA 2024 akan mengacu pada total anggaran APBA 2023 alias
2
anggaran pembangunan 2024 untuk kesejahteraan rakyat “jalan di tempat”. Diakhir cerita dari konflik eksekutif dan legislative Aceh, rakyat juga yang dirugikan.
Fenomena ini merefleksikan buruknya kinerja eksekutif dan legislative Aceh, karena kepentingan pemenuhan nafsu individu melampaui tanggung jawab profesionalismenya.
Kegagalan meningkatkan alokasi APBA 2024, tentunya telah merenggut kesempatan rakyat Aceh untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Carut marut penyelenggaraan kekuasaan di Aceh, tentunya tidak adil jika hanya menuding pihak legislative Aceh, perlu juga untuk menakar keteladanan eksekutif dan yudikatif Aceh dalam membangun etika pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Mungkin saja hilangnya “rasa malu” jajaran DPRA, dilatar belakangi oleh “dendam kekuasaan” terhadap sepak terjang eksekutif Aceh yang memonopoli proyek yang didanai APBA demi mengejar rente. Bukan rahasia lagi bagaimana gurita kekuasaan Pj Gubernur, Kepala Dinas dan pejabat teras di lingkungan Prov Aceh, mencengkram SKPA yang memiliki anggaran gemuk, seperti Dinas PU, Dinas Pengairan, RSZA bahkan Dinas Dayah menjadi sasaran penjarahan para kroni-kroni Pejabat teras Aceh. Disisi lain jajaran institusi hukum di Aceh, alih-alih mengoptimalkan perannya untuk mengejar para pengemplang uang rakyat, justru asik cawe-cawe berebut proyek sebagai calo, maka tidak heran jika di beberapa SKPA kita melihat dalam daftar paket proyek, tertera “jatah Lingke” atau “jatah Batoh”.
Persoalan penetapan APBA 2024 melalui mekanisme Pergub, hanyalah satu mata rantai dari rentetan persoalan amburadulnya pengelolaan keuangan Aceh yang tidak mampu mengurai persoalan kemiskinan di Aceh. Kita harus berani jujur menuding biang kerok dari keterpurukan Aceh untuk mengejar ketertinggalan dibidang kesejahteraan rakyat. Kepada Pj Gubernur, Ketua DPRA, Kapolda dan Kajati Aceh, pesta sudah berakhir dan sekarang saatnya tugas cuci piring menjadi tanggung jawab anda. Harapan rakyat Aceh, tanggalkan jabatan anda jika masih besar keinginan menjadi pengusaha, karena para pengusaha/kontraktor di Aceh telah direnggut kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan, sementara mereka tidak mungkin bisa jadi ASN, anggota DPRA, anggota Polri maupun Kejaksaan. Serakah dan tamak bukanlah budaya Aceh yang diintrodusir dari nilai-nilai Islam, oleh karenanya jika semua orang sudah jadi “anjing”, rakyat Aceh tetap setia menjadi manusia.
Dalam satu klausul disebutkan, bahwa akibat belum ditetapkannya Qanun Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2024, maka untuk memenuhi kelengkapan administrasi pembayaran gaji dan tunjangan, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Gubernur Aceh Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pengeluaran Daerah Mendahului Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2024.
Menurut informasi dari internal Pemerintah Aceh, Pergub perubahan itu menetapkan 4 keputusan, antara lain, menetapkan alokasi pengeluaran daerah digunakan untuk pembayaran gaji dan tunjangan Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Nanggroe, Ketua/Wakil Ketua/Anggota DPRA, Ketua/Wakil Ketua/Anggota Lembaga Keistimewaan Aceh.
Menurut DR. Syukriy Abdullah ahli akuntan nasional, Apabila penetapan APBA 2024 menggunakan mekanisme Pergub, maka total anggaran mengikuti nilai anggaran tahun lalu
Pokir sebagai biang keladi macetnya pembahasan apba 2024, mengingat pokir telah dijadikan ajang bagi bagianggaran. Pemahaman anggota dewan terhadap pokir sudah keliru, mereka berlindung dibalik institusi untukmembajak anggran demi kepentingan individu dan partai
Penambahan alokasi anggaran Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam RAPBA tahun anggaran 2024 dari jumlah awal Rp 400 miliar menjadi Rp 1,2 triliun masih menuai misteri di masyarakat Aceh. Pasalnya mulai dari DPRA hingga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) masih bungkam.
Penulis adalah Pemerhati Aceh